News Update :
INFO UNTUK ANDA : KETUA DPC : HERYANTO SEKUM DPC : ABI BENDAHARA : SULAEMAN BERSAMA MELAYANI RAKYAT #PKSPelayanRakyat ■

Perginya Sang Qiyadah, Tak Boleh Menyurutkan Dakwah

Senin, 04 Februari 2013


Islamedia - Ketika Rasulullah Muhammad saw meninggal dunia, masyarakat Madinah semuanya terkonsentrasi di rumah beliau. Sebagian mereka sedih, pasrah menerima kenyataan. Sebagian lainnya mondar-mandir tak tahu apa yang harus dilakukan. Ada juga yang yang berusaha menenangkan saudaranya yang panik karena harus ditinggalkan Rasulullah. Dalam kerumunan orang banyak itu Umar bin Khaththab ra datang menghunus pedang. Ia berteriak lantang: “Man qala anna Muhammadan qad maata, aqthul ra`sahu = Siapa yang berani bilang bahwa Muhammad sudah meninggal, akan aku penggal batang lehernya!”

Masyarakan yang sebelumnya diliputi berbagai perasaan menjadi semakin panik dengan sikap Umar yang emosional itu. Tapi, beruntunglah, tak berselang lama Abu Bakar Shiddiq ra datang menenangkan massa. Sesaat kemudian sahabat kepercayaan Rasulullah tersebut berpidato. Beliau menyitir ayat Allah: “Wa maa Muhammadun illa rasul. Qad khalat min qablihir rusul. Afa in maata au quthila, inqalabtum ‘ala a’qaabikum = Muhammad itu hanyalah seorang rasul (utusan), telah berlalu sebemnya banyak utusan. Lantas apakah kalau dia mati atau terbunuh, kalian akan berpaling ke belakang (murtad)…?” [Ali Imran: 144]

Mendengar Abu Bakar membaca ayat tersebut, Umar tersentak. Seakan baru sekarang ia mendengar ayat tersebut. Padahal Rasululah telah sering membacakan ayat tersebut kepadanya dan kepada para sahabat yang lain. Ia pun diam membisu bersama orang-orang yang lain. Abu Bakar melanjutkan pidatonya: “Man ya’budu Muhammadan, fainnahu qad maata. Wa man ya’budu Allaha, fa innahu hayyun laa yamut = Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sungguh ia telah meninggal. Tapi, barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Dia adalah dzat yang maha hidup, tak akan pernah mati!”

Polarisasi massa terkait suatu peristiwa besar adalah suatu hal yang wajar. Tak terkecuali pada peristiwa meninggalnya Rasulullah saw. Orang – orang munafiq semakin leluasa mengokohkan dirinya sebagai duri dalam daging, menusuk dari belakang, menggunting dalam lipatan dan menjadi musuh dalam selimut. Orang – orang kafir semakin tegak memusuhi Islam dan pemeluknya. Mereka bersorak riang gembira mengkapok-kapokkan para pengikut Muhammad saw.

Sedang dalam internal kaum mukminin sendiri tidak bisa dihindari polarisasi tersebut. Yang mempunyai pemahaman yang benar terhadap Islam dan ajarannya, terlebih tentang makna ayat yang dibaca Abu Bakar di atas, maka akan semakin cadas keimanan mereka. Mereka semakin giat merapikan barisan untuk meneruskan perjuangan, melanjutkan visa Risalah Muhammadiyah sebagai rahmat bagi semesta. Sebagai penyelamat kehidupan manusia kelak di Akherat. Namun tak sedikit di antara mereka yang akhirnya benar – benar berbalik ke belakang, musyrik. Mereka murtad. Mereka bergabung dengan musuh – musuh Islam untuk menghancurkan Islam.

Namun Abu Bakar, Umar, Abdurrahman bin Auf, Thalha, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas dan sahabat-sahabat utama lainnya radhiyallahu 'anhum bergerak cepat. Suwung kepemimpinan sesaat setelah Rasulullah meninggal segera mereka cari solusinya. Maka, saksikanlah! Dan bahkan sebelum Rasulullah dikebumikan, ummat Islam sudah memiliki pemimpin baru. Memang bukan nabi, bukan rasul. Karena Muhammad saw adalah rasul yang terakhir, sehingga tidak akan nabi lain setelah beliau. Tapi, dialah Ash Shiddiq! Sahabat terkasih Rasulullah. Teman dalam suka dan duka. Dialah lelaki yang ketika di gua Tsur, Rasulullah tertidur di pangkuannya. Kakinya digigit binatang berbisa, namun tubuhnya tak bergerak walau rasa sakit telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebab ia tak ingin sahabatnya itu terbangun.

Dan sejarah kemudian mencatat bahwa Islam tidak serta merta hilang bersama meninggalnya Sang Nabi pengemban risalah.  Abu Bakar berhasil mengembalikan para murtaddin ke pangkuan Islam. Bahkan di bawah kekhalifahan Abu Bakar, dua kaisar besar berhasil ditalukkan, Persia dan Romawi. Begitu juga, Abu Bakar berhasil membungkam nabi-nabi palsu yang bermunculan setelah Rasulullah saw wafat.

Begitulah yang terjadi pada tahun 1949, dalam sebuah konspirasi besar di Mesir, Imam Hasan Al-Banna dibunuh secara keji. Mereka bermaksud, bahwa dengan terbunuhnya Al-Imam Asy Syahid, dakwah Ikhwanul Muslimin bisa dihentikan. Mereka bukan hanya membunuh Al Banna, tapi pemerintah Mesir ketika itu menangkapi akktifis Ikhwan dengan berbagai tuduhan yang tidak jelas, mencebloskannya ke dalam penjara. Sekali lagi, yang demikian itu dimaksudkan untuk memotong jalan kebangkitan Islam.

Namun prediksi mereka salah besar! Ikhwan terus bergerak dengan karakter dakwah wasathiyah-nya. Hingga kini, nyaris tak ada lagi negara di bumi ini yang tidak terdapat di dalamnya du’atul ikhwan al-muslimin. Dan di negara asal berdirinya, setelah melewati perjuangan yang penuh onak dan duri, yang panjang dan berliku, kini Ikhwan telah memerintah di Mesir.

Hasan Al-Banna berpesan kepada semua pengikutnya: “Kalian adalah ruh baru yang mengalir dalam jasad ummat ini!” Ruh tersebut tak akan pernah berhenti bergerak, apapun penghalangnya. Tapi, dengan satu syarat utama: Tetap bersandar secara tegak kepada Allah al-Qawiy al-‘Aziz. Sebab Allah pasti akan memenangkan orang-orang yang memperjuangkan agama-Nya. Cepat atau lambat! “ Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-Hajj : 40)

Abrar Rifai

sumber : http://www.islamedia.web.id/2013/02/perginya-sang-qiyadah-tak-boleh.html

Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright OFFICIAL SITE DPC PKS TAMANSARI 2010 -2011 | ReDesign by DPC PKS TAMANSARI | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.