Dalam hal pengendalian BBM bersubsidi, Sohibul mengingatkan bahwa selama 2 tahun terakhir yaitu tahun 2010 dan 2011 telah terjadi overkuota BBM bersubsidi, yaitu kelebihan kuota 1,7 juta kiloliter (realisasi dibanding APBNP) pada tahun 2010 dan 1,3 juta kiloliter pada tahun 2011.
Untuk tahun 2012 ini, sebagai gambaran, dalam APBN 2012, kuota BBM bersubsidi ditetapkan sebesar 40 juta KL. Namun, kuota tersebut habis pada pertengahan September 2012, sehingga pemerintah pun mengajukan penambahan kuota menjadi 44,04 juta Kiloliter dalam APBNP 2012, dan DPR menyetujuinya. Namun, kuota itu pun kenyataannya tidak akan cukup hingga akhir tahun. “Ada ketidakcermatan pemerintah dalam menghitung dan memprediksi kuota BBM subsidi, sehingga dampaknya terhadap rakyat sangat luas seperti yang kita saksikan,” ujarnya.
Selain itu, masalah penyelundupan BBM bersubsidi juga semakin marak terjadi. BBM yang dicuri di tengah jalan, kemudian ditampung untuk dijual ke industri-industri, praktek ilegal taping seperti yang terjadi di pipa Pertamina Banyuasin dan sudah berlangsung lama tetapi tidak ada tindakan tegas dari aparat seperti di Banyuasin beberapa bulan belakangan ini. “Sekarang ini bukan hanya minyak mentah, tapi BBM subsidi juga jadi sasaran penyelundupan,” ungkapnya.
Sepanjang tahun 2012 ini, pemerintah telah menelorkan beberapa kebijakan terkait pengendalian BBM bersubsidi. Misalnya Melarang penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan dinas pemerintah, baik berpelat merah maupun hitam, kendaraan badan usaha milik negara juga dibatasi. Juga melarang kendaraan pertambangan dan perkebunan untuk menggunakan BBM bersubsidi. Serta melanjutkan konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas di Jawa. Namun kebijakan itu masih “jauh panggang dari api”, terutama pelaksanaan konversi BBM ke BBG yang justru mengalami kemunduran.
Bahkan, dana infrastruktur BBG tahun 2013 dipangkas hingga 447 Miliar akibat penyerapan anggaran tahun 2012 sebesar Rp.2,1 Trilyun (APBNP-2012) yang kurang maksimal, sehingga program konversi BBM ke BBG semakin terhambat. Padahal BBG ini dapat menjadi solusi untuk mengatasi semakin bengkaknya kuota dan anggaran subsidi BBM. “Pasokan gas yang minim untuk sektor transportasi, moda transportasi berbahan bakar gas yang tidak kunjung dibangun, janji membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) baru yang tidak terealisasi, bahkan SPBG yang ada justru ditutup, ini menunjukan pemerintah tidak serius mencari alternatif bahan bakar pengganti BBM,” pungkasnya.
Sumber: Fraksi PKS DPR RI
0 komentar:
Posting Komentar