PKS Lari dari Tradisi Politik Uang
Selasa, 18 Maret 2014
Oleh Edy A Effendi
KEHADIRAN Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam bingkai politik Indonesia, mampu memberi jalan cahaya bagi kehidupan parpol yang begitu bergemuruh. PKS hadir, tumbuh dan berkembang melalui jaler pengkaderan yang penuh militansi.
Di tengah hiruk pikuk politik uang, PKS mampu berdiri di luar pagar perkara politik uang. PKS tumbuh dan besar tanpa harus mengikuti arus politik uang yang sedang bergolak di setiap sudut pemilihan langsung itu.
Kenapa PKS bisa berdiri tegak di luar tradisi politik uang yang sedang bergolak? Karena orientasi para kader PKS bukan kekuasaan tapi pada upaya terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat. Bangunan masyarakat madani tentu berpijak pada nilai-nilai ilahiah. Salah satu pilar utama masyarakat madani adalah konsep adil.
Masyarakat madani yang diusung PKS, adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong-royong menjaga kedaulatan negara.
Maka sangat wajar jika sosok sineas terkemuka seperti Garin Nugroho memberi pujian terhadap fenomena PKS. Garin melihat ada satu fakta yang tak bisa dipungkiri melihat geliat kampanye perdana Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) yang dihadiri ratusan ribu massa, Minggu (16/3).
Dalam pandangan Garin, dalam tubuh PKS, ada sebuah perlawanan diam-diam yang tersusun rapi setelah penurunan citra, menunjukan kekuatan massa terorganisir yang disusun kembali.
Dilema PKS, dalam benak pikiran Garin, awalnya dihormati sebagai partai dengan pelayanan masyarakat yang kuat lewat organisasi kuat. Namun setelah berkuasa terlalu cepat berganti dengan politik panen dan kekuasaan, kehilangan citra.
“Maka dulu, meski organisasi berbasis agama tetap dihormati lawan karena pelayanan publiknya yang kuat dan hinga ranting kecil, sekarang harus merenungi ulang lima tahun lalu. Saya waktu itu ngajar di UI sudah mengisyaratkan hal itu,” tutur Garin.
Politik Hari Ini
Kenyataan politik hari ini, mau tak mau, harus dilihat dan dipandang dalam prinsip-prinsip paralogi. Satu prinsip atau kaidah yang mendedahkan keberagaman realitas, unsur-unsur, dan ruang permainan dengan logikanya masing-masing, tanpa harus saling menindas atau mengerangkeng satu dengan yang lain.
Para cerdik pandai melihat realitas ini, ibarat permainan catur. Setiap bidak memiliki rule of game dan kehendak sendiri tanpa harus saling menindas bidak-bidak lain. Dalam paralogi, imajinasi merupakan kekuatan atau daya yang penting.
Paralogi tidak dibangun atas dasar kesepakatan melalui proses yang berkesinambungan dengan aturan main yang ada, melainkan melalui apa yang disebut Jean Francois Lyotard sebagai dissensus yang tidak selalu berkesinambungan. Paralogi juga tidak dibangun sepenuhnya atas penemuan-penemuan baru, melainkan berupa kemampuan menggunakan apa yang sudah ada, sudah tersedia dengan cara-cara baru.
Dalam kultur di Indonesia, khususnya menjelang Pemilu 2014, pola paralogi sepertinya susah dikembangkan. Politik di Indonesia hari ini lebih mendorong pada pola perolehan suara massa ketimbang menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Pola seperti ini -- perolehan suara massa -- mengabaikan kualitas pribadi dan mendorong upaya praktik segala cara untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya.
Para caleg tak lagi mengembangkan etika dalam mereguk suara. Segala cara digulirkan untuk merenggut suara. Yang terjadi kemudian, para pemilih tak lagi melihat siapa sosok caleg, dari mana asal-usulnya, dan bagaimana rekam jejak hidupnya. Yang terpenting, pemilih merasa nyaman dengan bingkai politik uang. Uang dan uang.
Memang, jika kita mengikuti jejak pikiran yang ditebar Jean Baudrillard, kebudayaan dewasa ini adalah kebudayaan uang, “excremental culture”. Uang menempati peran penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang tak sekadar alat-tukar, lebih dari itu merupakan simbol, tanda, dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kebudayaan masa kini adalah sebuah dunia simulasi, dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra, dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan saling berkelindan.
Pergeseran nilai uang dalam situs kehidupan politik di Indonesia, terutama menjelang pemilu, pilkada atau pileg, secara tidak langsung merendahkan derajat manusia sebagai makhluk yang berakal. Makhluk yang memilik akal pikiran dalam mendesain laku lampah hidup sehari-hari.
Petanyaan mendasar perlu diapungkan di sini. Kenapa para caleg PKS dan kader-kader yang menduduki pos-pos kekuasaan tak terjebak permainan kotor politik uang? Padahal
hasil survei bertajuk”Politik Uang dalam Pemilu” yang dikerjakan Polling Center, akhir Desember 2013, memperlihatkan bahwa lebih dari separuh (52,1 persen) pemilih akan menerima uang dan barang dari kandidat dalam pemilihan umum. Persoalannya kemudian, politik uang masih terasa menjadi “tuhan-tuhan” baru pada Pemilihan Umum 2014.
Harus disadari, transaksi politik uang dalam pemilu sudah seperti keharusan mencapai tujuan. Tanpa uang, seolah-olah para kompetitor yang berburu kekuasaan merasa tak lengkap. Pada titik ini, pemilu, pilkada dan sejenisnya sudah menjadi barang industri, barang dagangan. Industri yang memperdagangkan antara ruang pencitraan pribadi dan partai.
Sebagai sebuah industri, para pemburu kekuasaan, membuka lapak-lapak baru di berbagai sudut kota dan desa dengan merayakan pencitraan diri, baik melalui poster, spanduk atau melalui iklan-iklan di media massa. Yang terjadi kemudian dari pola industri seperti ini, para pemburu kekuasaan, para pelancong, tak lagi mengindahkan etika dalam menggapai tujuan. Para pemburu dan pelancong itu telah menghilangkan konsep partisipatif warga negara dalam merayakan hajat besar yang bernama pemilu, pilkada dan pemilihan legislatif itu.
Para pemburu dan pelancong jabatan dan kekuasaan itu, mendikte warga agar mengikuti alur kehendaknya. Di sinilah runtuhnya bangunan warga negara yang menjadi pilar penyangga tegaknya masyarakan madani, “civil societty”.
Warga sebagai sub dominan dalam masyarakat seperti robot. Digerakkan dan dikendalikan oleh para pemburu yang berebut kekuasaan di legislatif dan eksekutif. Tak ada lagi praktik mendistribusi gagasan yang segar soal demokrasi. Yang ada, warga dijadikan obyek dalam menuju tangga kekuasaan. Label pemilu jurdil hanya menjadi jargon, hanya jadi bungkus pemanis tanpa isi, tanpa roh.
Jika mau jujur, ketika praktik politik uang berkeliaran di ranah warga, tangga kekuasaan yang digengam menjadi tak sahih. Karena kekuasaan yang diperoleh hasil dari cara-cara manipulatif. Begitulah kekuasaan, selalu mengedepankan segala cara. Halal haram hantam.
Kenyataan hari ini, banyak sekali kekuasaan direngkuh dengan cara-cara tak elok, sejatinya kekuasaan itu dipungut dengan penuh kepalsuan. Kekuasaan yang hadir tanpa pijakan kesadaran publik dalam memilih pemimpin. Kekuasaan yang tumbuh dan berkembang tanpa adanya sikap beradab.
Sayangnya, masyarakat bersikap masa bodoh terhadap realitas politik uang. Justru sebagian masyarakat berpesta pora dengan adanya pemilu presiden, pilkada dan pemilihan legislatif. Kesadaran pemilu sebagai medium terbesar “civic education” hanya sebagai jargon kosong yang terus-menerus terbaca tapi tak punya efek dalam kehidupan sehari-hari.
Begitulah kehidupan era kini, di mana uang menjadi “tuhan-tuhan” baru dalam kultur masyarakat. Warga negara sebagai manusia yang memiliki akal budi dan kalbu, seperti mayat-mayat hidup yang dipermainkan dengan ritus duniawi, ritus uang. Alangkah baiknya, kita merenungi apa yang pernah ditulis Thomas Jefferson, yang menyerukan bahwa semua manusia “dikaruniai oleh Sang Pencipta hak-hak tertentu yang tak dapat disisihkan” — yakni hak untuk “hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan”.
Hak “hidup, kebebasan dan mencari kebahagian” dalam kultur pemilihan langsung yang berjalan di Indonesia, tak lagi menjadi habitat hidup. Hak hidup dirampas. Hak kebebasan dibelenggu dan hak mencari kebahagiaan dihargai hanya dengan selembar uang.
Begitu rendahnya harga manusia yang diklaim Tuhan sebagai makhluk paling sempurna ketimbang makhluk ciptaan-ciptaan-Nya. Manusia yang memiliki akal budi dalam lingkar pemilihan langsung, sudah mati sebelum mati. Yang ada hanya jasad tanpa roh.
Ada baiknya kita merenungi kembali apa yang dituturkan Imam besar Al-Ghazali. Dalam “al-Munqidh min al-Dalal” (‘Selamat dari Sesat’). Imam Al Ghazali memberi tekanan yang teguh untuk satu hal: kepastian dalam pengetahuan.
“Tujuanku adalah untuk mencerap realitas yang terdalam dari hal ihwal; aku ingin menangkap hakikat pengetahuan. Pengetahuan yang pasti adalah yang membuat hal yang diketahui mewedarkan dirinya tanpa membiarkan secercah pun peluang untuk ragu atau kemungkinan apapun untuk salah dan berilusi, dan tak pula hati kita membiarkan kemungkinan semacam itu. …Orang harus dilindungi dari kekeliruan, dan harus begitu terpaut erat dengan kepastian hingga usaha apapun, misalnya, untuk mengubah sebungkah batu menjadi emas atau sebatang tongkat menjadi seekor ular, tak akan membangkitkan ragu atau menimbulkan kemungkinan yang berlawanan….”
Sebuah petuah agung dari sosok manusia yang zuhud ini, yang lahir dari sebuah keluarga terpelajar di kota Tus di timur-laut Persia di tahun 1058, layak untuk diamini. Dan tampaknya para pemburu kekuasaan dan para pelancong, layak menyimak secara cermat dan teliti petuah sang imam itu.
Dari uraian di atas dapat ditemukan jawabannya, kenapa para caleg PKS dan kader-kader yang menduduki pos-pos kekuasaan tak terjebak permainan kotor politik uang. Karena niat para kader tak sekadar menduduki kursi dewan dan pos-pos kekuasaan. Ada nilai-nilai ilahiah yang ditanam pada kader PKS.
Islam yang melekat dalam tubuh PKS, tak sekadar sebagai simbol. Tapi Islam sudah menjadi harga mati menuju masyarakat madani. Pada titik ini, titik di mana Islam sebagai basis perjuangan, tak berarti menafikan kader lain di luar Islam menjadi bagian dari PKS. Justru karena Islam memberi rahmatan lil alamin, rahmat bagi semua alam semesta, PKS bisa menjadi payung bagi agama lain.
Mari membangun bangsa ini, menata bangsa ini, dengan penuh dedikasi dan sikap ilahiah. Satu sikap yang menyandarkan diri pada kehendak Tuhan atas segala gerak yang kita kerjakan. Uang dan benda apapun yang diberi oleh para pemburu kekuasaan dan para pelancong kursi dewan, tak akan abadi. Ia hanyalah shelter bukan terminal. Ia hanya tempat persinggahan sementara bukan tujuan utama hidup manusia. []
*Edy A Effendi, seorang penyair dan jurnalis
@eae18 on twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar