Pendidikan politik pertama saya didapat
dari Bapak. Doktrin yang selalu Bapak berikan adalah doktrin apatis, yaitu memprotes berbagai kerusakan bangsa. Ibaratnya,
Indonesia sudah rusak sekaset, jadi kalau mau benar, ganti kaset baru.
Semuanya harus generasi baru.
Tapi, Bapak belum pernah mendiskusikan solusi
nyata atas semua protesnya. Kesimpulannya ada di satu kata: golput.
Untuk apa memilih? Tidak ada perubahan nasib. Proklamasi Bapak, beliau tidak akan milih sampai mati.
Ekstrim, kan?
Saya sangat memahami pola pikir orangtua
saya. Satu dari sekian banyak kasus golput sebagai pilihan di Tanah Air. Beberapa faktor memengaruhi sikap demikian, termasuk sepinya pendidikan
politik yang benar dan santun.
Karena saya kenal karakter Bapak, akan
sia-sia jika mendebatkan bahwa Pemilu sejatinya berhubungan dengan harga cabe,
jumlah pengangguran, kebajiran, korupsi, dan semua nasib bangsa, maka dari itu, kita perlu lakukan
sesuatu. Kita ganti "kasetnya" dengan anggota dewan dan pemimpin yang amanah. Mewujudkan
kecintaan pada Allah dengan melakukan yang terbaik bagi Bangsanya, bukan hanya melakukan golput dan berorasi yang menghujat.
Untuk
sementara, status saya dan Bapak adalah seperti "Bagi saya sikap saya,
bagi Bapak, sikap Bapak". Bapak tidak akan ikut saya dan
saya tidak akan ikut Bapak. Tapi, kami saling menghormati. Lucunya…
Sejak 2004, Pemilu pertama yang saya
ikuti, saya pilih PKS dan langsung menjadi
saksi
TPS. Mengawal
suara hingga ke PPK, padahal ketika itu, saya masih sangat baru mengenal
Tarbiyah, bahkan masih mempertayakan
banyak hal di Tarbiyah.
Pesan
murobbi saya menjelang jihad siyassi, PKS hanyalah nama. Dan, nama
bisa apa saja. Maka, seorang aktivis dakwah bisa dan boleh mengusung berbagai nama untuk misi dakwahnya.
Bisa dan boleh masuk ke berbagai lini kehidupan. Tidak ada pengecualian
termasuk ke ranah politik. Kebetulan Keadilan dan Sejahtera disepakati sebagai nama dari gerakan
dakwah Tarbiyah di politik.
Kalau yang saya bela PKS, maka bisa jadi
PKS mati, seperti Partai Keadilan yang dipaksa mati oleh ketentuan parliamentary treshold. Tapi, yang kita bela adalah
dakwah yang diusung PKS. Dan, dakwah tidak akan pernah mati.
Ketika berkesempatan membuka Facebook, ada
perdebatan cukup panjang atas status seseorang yang dulunya aktivis dakwah sekolah. Salah satu komentarnya berbunyi, “Kalau masih ada
PK, saya pilih PK, nggak pake S. Sayang, PK sudah tamat riwayatnya.” Saya hanya ngomong sendiri, “Mbak ini belain namanya.”
Kalau yang saya bela PKS, saya kemungkinan
besar putus hubungan dengan banyak saudara seiman yang mati-matian bilang demokrasi tidak sesuai
syariah Islam, mereka yang sengit menulis komentar Islam hanya bisa
diperjuangkan dengan cara yang diajarkan Rasulullah. Dan, sistem partai dalam Pemilu adalah sistem kapitalis.
Sudah cukup saya harus menahan diri untuk
tidak menyahut berbagai
komentar tersebut. Paling maksimal, saya curhat ke suami, menumpahkan
kegeregetan tersebut. Rasanya mau teriak, sadar nggak sih, kalau musuh Islam
sengaja mau mengadu domba kita, agar banyak orang Islam nggak milih, agar Indonesia dikuasai orang kafir, agar Islam di Indonesia musnah. Meski begitu, saya cuma neriakin suami. Kalau saya teriak di soc-med, saya khawatir khilaf.
Kalau yang saya bela PKS, dimana nurani
keibuaan saya? Anak berusia 11 bulan dalam kondisi demam, saya ajak pergi seharian. Ada
baksos Dapil 1, saya naik motor dengan lama
perjalanan lebih dari satu jam, pergi di terik matahari dan pulang di kala senja
menutup hari. Tetapi, dengan bismillah, saya
tetap ikut "membantu" baksos, meski di sana saya hanya mengurusi Si Kecil, tak
apalah. Belum lagi tatapan iba atau protes dari banyak orang yang melihat, ketika saya mengurus Si Kecil.
Kalau yang saya bela PKS, saya akan
stres di saat media
ramai mengumumkan PKS hanya menduduki posisi ketujuh atau kedelapan dari 15 parpol peserta Pemilu, bukan tiga besar yang selalu diteriakkan. Seolah kerja-kerja
sepanjang tahun harus pupus oleh Pemilu satu hari.
Kalau yang saya bela PKS, saya kian tertekan mental dengan sikap
orang tua saya. Sementara saya ‘jungkir balik’ mengenalkan PKS, melakukan
pendidikan politik yang Islami.
Mirisnya,
orang terdekat saya
justru antipati. Syukurnya, Bapak tidak pernah menghalangi
saya aktif di partai.
Doa saya, semoga kerja dakwah kami turut dirasakan Bapak. Sindiran kecil dari Bapak, kini terasa biasa. “Katanya anti korupsi. Presidennya kena tahan KPK!” Enjoy aja, saya kan nggak belain PKS.
Doa saya, semoga kerja dakwah kami turut dirasakan Bapak. Sindiran kecil dari Bapak, kini terasa biasa. “Katanya anti korupsi. Presidennya kena tahan KPK!” Enjoy aja, saya kan nggak belain PKS.
Maaf, terlalu murah harga yang harus dibayar untuk semua perjuangan para aktivis dakwah jika hanya atas nama PKS. Maka, saudara-saudara sebangsa setanah air, ingat, nggak penting belain PKS!
Ditulis oleh Umi Laila Sari, Pengurus Humas DPC PKS Kemuning Kota Palembang
0 komentar:
Posting Komentar