Jakarta (17/4) -
Maraknya kasus kekerasan terhadap anak membuat prihatin Wakil Ketua
Komisi VIII yang membidangi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Ledia Hanifa Amaliah. Apalagi dalam tiga tahun terakhir diketahui kasus
kekerasan yang menimpa anak justru mengalami peningkatan.
"Ironisnya, kekerasan pada anak kini
berlangsung dimana-mana. Di area publik seperti jalanan, mall, sekolah,
hingga di rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak. Begitu
pula pelakunya tidak hanya orang asing tetapi seringkali justru
dilakukan oleh orang yang dikenal, yang dekat, hingga kerabat dan
keluarga sendiri," urai Ledia pada Kamis (17/4).
Ledia menilai salah satu sebab mengapa
angka kekerasan pada anak meningkat karena masih minimnya kesigapan
setiap elemen masyarakat baik orangtua, guru, tokoh masyarakat, aparat
pemerintah hingga aparat hukum dalam mengimplementasikan upaya memenuhi
hak-hak anak dan memberi perlindungan terhadap anak.
“Secara bersama-sama kita sebagai
orang-orang dewasa di tengah masyarakat sesungguhnya memiliki kewajiban
dan tanggungjawab dalam memenuhi hak anak dan melindungi anak. Baik itu
anak kita sendiri maupun anak orang lain,” ujar Ledia.
Aleg FPKS ini mengingatkan betapa
Indonesia sudah memiliki Undang-undang perlindungan anak sejak 2002,
undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sejak 2004, serta
berbagai peraturan perundangan yang mengamanahkan negara, masyarakat,
dan individu untuk terlibat aktif memenuhi hak dan melindungi anak.
"Di dalam pasal 21 sd 23, 25 dan 72 dari
Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak misalnya
disebutkan kewajiban dan tanggungjawab negara serta peran serta
masyarakat dalam melindungi anak. Sementara pasal 15 dari Undang-undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tahun 2004 menyebutkan bahwa
setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan
batas kemampuannya untuk: mencegah berlangsungnya tindak pidana,
memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat;
dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan,"
paparnya.
Menurut Ledia, semua peraturan
perundangan ini tidak berarti bila implementasinya tidak maksimal.
Karena itu Ledia mengingatkan pemerintah untuk segera memaksimalkan
penyediaan sarana dan prasarana pendukung perlindungan anak.
“Selama ini unit PPA belum tersedia di setiap polres, penyidik, jaksa dan hakim khusus PPA masih sangat sedikit, shelter
penampungan, relawan pendamping saksi atau saksi korban sangat
terbatas, akibatnya proses penegakan hukum bila ada kasus hukum yang
melibatkan anak atau upaya perlindungan pada anak menjadi terhambat,”
ucap Ledia.
Selain itu, Ledia juga menghimbau setiap
orang dewasa baik orangtua, guru, tokoh masyarakat atau aktivis
organisasi untuk sigap memberikan perlindungan bagi anak.
“Dalam urusan perlindungan anak, sifat
yang dibutuhkan adalah proaktif dan sensitif terhadap hak-hak tumbuh
kembang anak. Ada perubahan kondisi fisik, mental dan sikap anak perlu
waspada. Ada mendengar, melihat, mengetahui anak-anak yang terancam,
teraniaya, terlantar harus segera dicegah. Kalau tak mampu, ya lapor ke
pengurus RT, RW atau bahkan ke polisi. Sebab semua itu adalah kewajiban
kita yang diamanahkan undang-undang,” urai Ledia.
0 komentar:
Posting Komentar