News Update :
INFO UNTUK ANDA : KETUA DPC : HERYANTO SEKUM DPC : ABI BENDAHARA : SULAEMAN BERSAMA MELAYANI RAKYAT #PKSPelayanRakyat ■

Peran media massa terhadap PKS di era awal reformasi hingga kini

Senin, 04 Februari 2013


 
 1 photo membantah seribu celaan.
Subhanallah, saat PKS dihujat habis2an, diramalkan punah di 2014, ditinggal kader & simpatisan tapi malah yg terjadi sebaliknya.
Kemarin 100 KTA baru diterbitkan DPD PKS Aceh Barat dan ratusan lainnya masih antri, sementara form pendaftaran anggota baru terus mengalir.
Sungguh, Allah memang sebaik2 pembalas makar.




oleh Ahmad Salfawan

Saya sejujurnya adalah sebagai ex-kader PKS, saya menulis artikel ini bukan
dalam rangka mendukung atau ingin kembali ke PKS, atau membela “rekan2″ lama.
Menurut saya mungkin banyak ex-kader PKS yg jg memiliki argumen yg hampir sama.
Sejak dimulainya era reformasi ‘98 menjadikan indonesia masuk dalam era kebangkitan Media massa dengan akses informasi terbuka sebesar-besarnya tanpa ada pembredelan.
Seperti membangunkan macan tidur, media massa makin menunjukkan keterlibatannya baik dalam membangun opini dari berbagai isu perpolitikan indonesia.
Dahulu PK yang disebut-sebut sebagai pionir gerakan perubahan/reformasi, dengan merangkul tokoh2 tokoh2 pergerakan reformasi PDIP, PAN, PKB. Oleh media massa, hampir setiap hari selalu menjadi headline pemberitaan. Serta tidak luput peliputan pribadi, aktivitas, hingga “langkah2″ tokoh partaik keadilan dan selalu menjadi topik pembicaraan strategi membangun pemerintahan dan masyarakat yang anti KKN. menjadikan PK sebagai pelopor terdepan oleh Masyarakat untuk membangun Indonesia yang lebih baik,
Bahkan kepopuleran tokoh-tokoh reformasi baik PK atau partai pro reformasi lainnya dahulu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepopuleran Jokowi saat ini.
Mereka dielu-elukan Media sebagai tokoh fenomenal, seiring waktu para tokoh2 reformasi yang telah menjadi penguasa di tingkat legislatif maupun yudikatif mulai diuji baik disisi kekuasaan, maupun godaan KKN.
Semakin jauh dari era awal Reformasi membuat banyak tokoh hingga Presiden lupa akan agenda utama dari Reformasi, bahkan terjerumus dalam KKN akibat ego dirinya sendiri.
Perilaku keserakahan tidak hanya mulai tampak oleh penguasa bahkan di kalangan Pengusaha Media Massa tidak jauh berbeda, meskipun menggunakan cara cara yang kurang etis demi penpembaca baik dihitung dalam jumlah oplah terbitan, atau rating di media online. Di saat persaingan bisnis Media Massa yang semakin ketat dan pengetatan anggaran, yg salah satunya dampak investasi media Online yang semakin mendominasi karena dapat diakses secara gratis tanpa harus membeli majalah/koran.
Disisi lain, citra buruk yang mulai terlihat dianggap sebagai karakter asli tokoh2 reformasi yang bahkan dianggap lebih buruk dan lebih serakah dari tokoh era Orde Baru, menjadikan pena Media massa semakin “tajam” memanfaatkan situasi tersebut sebagai “bahan bakar” pemberitaan yang memiliki “nilai komersial tinggi”. Disisi pembaca semakin dimudahkan dalam mengakses informasi secara Online (dan gratis) pada awal tahun 2000an.
Sedangkan pada era Orde Baru media massa “dipaksa” sebagai mesin publikasi politik, seperti PEL*TA oleh partai Golk*r
, P*S K*TA
untuk partai PD*, sedangkan PP* sangat minim dukungan media. sehingga pola berpikir politis masyarakat pada saat itu sangat mudah disetir khususnya untuk kalangan menegah atas karena masyarakat miskin tidak mampu mengakses produk media massa berbayar. Tingginya dukungan dana tanpa batas juga sebagai alasan kenapa Media tetap konsisten pro pada salah satu partai.
Pasca eforia reformasi semakin banyak pemberitaan yang memojokkan dan sudah mulai terfokus pada tokoh2 PK maupun PKS, yang sering mudah menjustifikasi, terlalu subjektif, bahkan fitnah tanpa dasar dan bukti yang kuat. Dari beberapa kasus anggota PKS, sering menunjukkan tidak terbukti korupsi saat putusan akhir pengadilan, hal ini yang mengakibatkan banyak petinggi PKS yang mulai “gerah” akan pemberitaan media.
Sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk PKS, Media selalu cenderung berprasangka buruk dari berbagai pemberitaan khususnya dalam proses peradilan, baik putusan bebas maupun bersalah.
Dalam dunia politik, prasangka buruk sangat diperlukan karena jika digunakan prasangka baik sulit menelaah berbagai regulasi atau kebijakan yang telah dibuat apakah sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini menjadikan sebagai pondasi dasar bahwa pemberitaan oleh Media Massa khususnya dunia politik harus berdasarkan prasangka buruk.
Dalam ranah 10 tahun ini telah menjadi trend sejumlah tokoh politikus yang berlatar belakang sbg pengusaha menguasai/ membeli media-media tertentu. Pada awalnya kebanyakan hanya berpikir sebagai mesin pencetak uang saja.
Tetapi pada kenyataannya, berdasarkan informasi yang sudah Saya peroleh dari wartawan media massa besar di indonesia. Kini media sangat menyadari potensi value (baca : uang) “pena” pers tersebut,
kekuatan yang tak terbatas dapat menciptakan opini publik, bahkan membuat yang salah terlihat benar maupun sebaliknya tanpa mengeluarkan biaya tinggi, dan tanpa korban jiwa (selain personal/pihak yg dijadikan sasaran media).
Tokoh politik, pemerintah, maupun parpol kini banyak dijadikan sebagai sapi perahan oleh Media, karena tanpa berkontribusi ke Media, mereka akan selalu akan “mengkritisi” dengan dalih sebagai media pendidikan politik indonesia dan demi transparansi informasi.
Untuk membuktikan tingkat kesejahteraan wartawan maupun Media Massa saat ini sangatlah mudah, kini sangat mudah ditemukan wartawan bergaya hidup mewah. Sangat kontras jika dibandingkan di era Orde Baru, dimana profesi wartawan jarang diminati bahkan tidak jarang memiliki ekonomi yang memprihatinkan, contohnya dari kisah profesi orang tua Chairul Tanjung (pemiliki Trans Corp) yang bekerja di media.
Yang lebih kontras, coba pembaca lihat segmen acara-acara tertentu yang diperuntukkan untuk lembaga,departemen, sosialisasi program dari pemerintah, atau acara kepartaian. Saya pastikan 100% tidak ada satupun unsur kritisasi, atau unsur yang menyindir pihak nara sumber tersebut. Dikarenakan event tersebut bukanlah segmen pemberitaan melainkan spot iklan, yang bertindak sebagai “sponsor” adalah lembaga/departemen/partai tsb.
Tokoh pengusaha yang merangkap sebagai politikus pemilik media massa sangat diuntungkan untuk dimanfaatkan media publikasi, peredam pemberitaan negatif Partai yang dibelakangnya. pembuktiannya, sangatlah mudah cukup gunakan hati nurani pembaca dan lihat bagaimana bias penyampaian pemberitaan antara media TV seperti TV On*, dan Metr* TV  pada kasus Lapind*, dll.
Yang menjadi pertanyaan kenapa media cenderung menghujat pada tokoh PK maupun PKS yang tengah terkena kasus, bahkan penghinaan terang-terangan (khususnya media Online) tanpa riset yg mendalam. Tetapi ada perlakuan yang sangat berbeda pada pemberitaan kasus oleh anggota partai non-PKS. Jawabannya sederhana, karena PKS tidak punya material yang dapat dipertukarkan (baik finansial maupun pembagian kekuasaan).
Selain itu, kebencian pada PKS mungkin terjadi akibat ke-iri-an partai lain (yg menguasai media tertentu) akan efektifitas konsolidasi PKS, maupun hampir tidak ada anggota PKS yang terjerat kasus korupsi. Sehingga partai dibelakang Media tersebut dengan berbagai cara berusaha menggembosi suara (dukungan) PKS agar di 2014 menjadi partai yang tersingkir dari 5 besar dan diharapkan dimasa depan tidak lolos oleh KPU.
pada kasus pergantian presiden PKS, tampak nyata konsolidasi PKS terjadi sangat cepat.
Bahkan Golkar mengakui keefektifan konsolidasi PKS. Hal ini terjadi karena para kader PKS sadar bahwa kepentingan untuk memajukan Indonesia hanya dapat dilakukan dengan sistem manajemen partai yang efektif dan efisien, demi strategi kemenangan di tahun 2014 nanti. Sedangkan pencitraan partai tidak sebagai strategi utama.
Pencitraan partai PKS pun tidak memfokuskan pada simbolisasi partai, tetapi dalam bentuk tindakan kegiatan sosial yang sifatnya membangun kemandirian masyarakat. Cara ini masih dilakukan sejak tahun 98-99 di berbagai wilayah bencana yang terjadi di indonesia, bahkan di jakarta. Strategi ini sudah lama ditiru sebagian partai besar lainnya.
Terlepas dari faktor konspirasi atau spionase, tanpa perlu berdebat panjang lebar. Kita perlu berpikir jernih, dan tidak menelan mentah-mentah informasi yang diberikan oleh media, karena semakin diperlukan kekritisan dari pembaca, sehingga memberikan feedback yg positif ke media agar
mereka memperbaiki kualitas pemberitaannya meskipun tidaklah mudah mengalahkan pihak-pihak yang sudah berkontribusi di media tersebut.
Memang PKS adalah partai dengan sokongan dana cukup rendah (jika dibandingkan dengan partai besar lain), tapi semangat kebersamaan dan kekompakan kader PKS menjadikan terlihat sangat menakutkan bagi kader partai lainnya.
Ketidakadanya dukungan media massa, khususnya media TV membuat PKS semakin harus berhati-hati dan lebih bijak dlm mengambil sikap.
Dari pemberitaan yang cenderung negatif beberapa hari ini secara tidak langsung media memberikan iklan/promosi gratis kepada PKS, tinggal kembali ke masyarakat apakah PKS kini semakin baik atau buruk masyarakat hanya melihat dari kenyataan dilingkungan sekitar.
Menurut saya strategi jitu PKS kedepan adalah membuktikan kepada masyarakat, khususnya di tingkat bawah seperti RT/RW menunjukkan kontribusi nyata bahwa citra negatif dari media tersebut sangatlah tidak benar. Peristiwa ini menjadikan PKS semakin perlu memahami apa yang dibutuhkan masyarakat berbagai kalangan yang meskipun telah bertransformasi sebagai partai nasionalis, meskipun tetap diperlukan ciri religiusitasnya. Tanpa itu PKS akan tidak memiliki “ciri” khusus, bahkan dapat beresiko terjerumus menghalalkan segala cara demi kemenangan partai.
Pada akhirnya pihak/partai siapapun yang dihujat, dikritisi jika tidak ada respon balik positif, masyarakat akan dengan mudah mengambil tindakan baik apatis,Mendukung, atau menyebarkan isu/provokasi negatif, meskipun dari sisi fakta pemberian suara dalam pemilu tidak selalu linear.
Berbagai partai tidak hanya PKS, perlu bekerja keras untuk menyadarkan masyarakat untuk tidak bersikap apatis khususnya berbagai hasutan yang cenderung negatif di berbagai media.
Sebelum mengkritik, atau menghujat kita harus berkaca apakah sudah berbuat yang lebih baik dari apa yang telah dilakukan partai/pihak yang dihujat tersebut. Jika sudah barulah kita pantas mengkritisi secara konstruktif, dan pada taraf wajar dan tanpa memicu konflik SARA,

sumber :http://politik.kompasiana.com/2013/02/04/peran-media-massa-terhadap-pks-di-era-awal-reformasi-hingga-kini-531367.html
Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright OFFICIAL SITE DPC PKS TAMANSARI 2010 -2011 | ReDesign by DPC PKS TAMANSARI | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.