Assalaamu'alaikum wr.wb.
Rekan-rekan pers yang dirahmati Allah.
Rekan-rekan pers yang dirahmati Allah.
Bersama ini kami kirimkan Siaran
Pers :: Inkonsistensi Pemerintah dalam Aturan Ekspor Bahan Tambang ::
Semoga berkenan dan bermanfaat.
Atas kerjasama yang diberikan, kami
ucapkan Terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Siaran
Pers
Inkonsistensi Pemerintah dalam Aturan Ekspor Bahan Tambang
Jakarta
(2/9) - Inkonsistensi
pemerintah dalam kebijakan ekspor raw material (bahan mentah) sejatinya
berawal dari pelanggaran terhadap UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara dalam ketentuan peralihan Pasal 169 huruf (b) dan (c),
yang mengatur kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun, kecuali mengenai
penerimaan negara sebagai upaya peningkatan penerimaan negara.
Rumusan Pasal tersebut sudah final dan tidak menimbulkan
perbedaan penafsiran, sehingga tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukan
renegosiasi atau negosiasi ulang. Para kontraktor pertambangan seharusnya tidak
lagi beralasan bahwa rumusan tersebut tidak dapat diimplementasikan karena
pengingkaran terhadap asas pacta sunt servanda. Bagaimanapun,
suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan
undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Oleh karena itu pemerintah harus berani menjalankan aturan yang sudah kuat ini.
Anggota Komisi VII
DPR dari Fraksi PKS Muhammad Idris Lutfi mengatakan, Sejak
absennya keberanian pemerintah untuk menerapkan Pasal 169 huruf (b) dan (c)
tersebut, maka Pasal 170 juga terancam untuk dilanggar. Pasal terakhir mengatur
bahwa Pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian
selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, yaitu 12
Januari 2014. “Apagunanya dibuat undang-undang, apabila pemerintah tidak berani
menerapkan ketentuan yang ada didalamnya. Buktinya UU No 4 tahun 2009 ini tidak
pernah konsekuen dijalankan, artinya pemerintah melanggar UU,” tegasnya.
Lutfi
menambahkan, Pemerintah
bersama kontraktor memiliki jangka waktu 5 tahun untuk mempersiapkan alat
pemurnian (smelter) baik di bangun oleh pemerintah sendiri maupun
meminta pihak kontraktor. Namun, hingga saat ini belum ada hasil atas upaya
pemerintah hampir selama 5 tahun. Upaya-upaya pemerintah menguap ketika
menghadapi kesulitan dilapangan berupa penolakan dari pihak kedua (kontraktor).
“Dari sisi ini terlihat sungguh lemahnya
semangat pemerintah untuk lebih mandiri dan juga lemahnya diplomasi pemerintah,” ungkap legislator Fraksi PKS asal Sumatera Utara I ini.
Inkonsistensi tersebut benar-benar berlanjut hingga saat
ini karena pemerintah berupaya mewujudkan penundaan pelaksanaan Pasal 170
tersebut. Ironisnya, ide tersebut muncul berdekatan dengan dikeluarkannya
permen ESDM No 20 Tahun 2013 yang diundangkan tanggal 6 Agustus 2013 dan akan
berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2013, yang menetapkan batas akhir ekspor
mineral mentah yakni pada 12 Januari 2014.
Lebih
lanjut Lutfi menyesalkan sikap inkonsistensi pemerintah lainnya terlihat dari PMK No. 75
Tahun 2012 yang menjelaskan 65 barang mineral terkena bea keluar jika hanya
menjual bijih mineral tanpa diolah terlebih dahulu. Padahal, di dalam
Permen ESDM No. 7 Tahun 2012, barang tambang yang dilarang ekspor hanya 14
jenis saja. “Pemerintah seharusnya malu atas
inkonsistensi dan segera bersikap tegas, apa yang selama ini sudah di tetapkan
dalam undang-undang harus dipatuhi,”
pungkasnya.
Kontak
:
Muhammad
Idris Lutfi, M.Sc - 08121046723
Anggota
Komisi VII DPR RI Fraksi PKS - Dapil Sumatera Utara I
0 komentar:
Posting Komentar