Jakarta (4/4) —
Meski setiap tahun anggaran belanja infrastruktur meningkat, tapi total
investasi infrastruktur Indonesia terhadap PDB masih terbilang kecil,
baru 4,51%. Untuk memenuhi biaya investasi infrastruktur, DPR mendorong
keterlibatan pihak swasta dalam penyediaan infrastruktur (Skema Public Private Partnership/PPP).
“Kebutuhan
investasi infrastruktur selama 2010-2014 yakni Rp1.923,8 triliun,
Sementara kemampuan APBN hanya Rp815,6 triliun dan APBD sebesar Rp445,57
Triliun. Karena itu, peran swasta untuk ikut menyediakan infrastruktur
perlu didorong untuk mengatasi baglock ini,” ujar Yudi Widiana Adia, Anggota Komisi V DPR RI asal Sukabumi, Jawa Barat.
Yudi mengatakan baglock
anggaran infrastruktur selama ini terjadi karena minimnya anggaran yang
dimiliki pemerintah. Apalagi, sebagian besar APBN habis untuk alokasi
belanja pegawai dan subsidi, termasuk untuk memenuhi anggaran
pendidikan yang mencapai 20% dari APBN.
“APBN
kita sangat terbatas. Salah satu upaya yang bisa mendorong pertumbuhan
infrastruktur adalah membuka kran bagi investor melalui KPS. Ini yang
sepertinya masih mandek,” papar Yudi.
Seperti
diketahui, Pemerintah menargetkan penanaman modal di sektor swasta
sebesar Rp980 triliun (kurang lebih USD 94 milyar) berdasarkan kerangka
KPS untuk jangka waktu 2010-2014. Namun, realisasi selama tahun
2010-2014 awal baru mencapai Rp269,3 triliun.
Sebenarnya,
pemerintah telah menyadari peran penting sektor swasta untuk memenuhi
kebutuhan ini dan karenanya telah menyediakan suatu sarana bagi pihak
swasta agar dapat ikut berperan serta dalam pembangunan infrastruktur
melalui Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).
Program
KPS milik pemerintah ini mencakup rentang infrastruktur yang luas,
termasuk bandar udara, pelabuhan laut dan sungai, jalan dan jembatan,
jalan kereta api, ketenagalistrikan dan sebagainya. Namun hingga saat
ini belum banyak investor yang tertarik berinvestasi, yang secara
substansial, banyak disebabkan oleh urusan pembebasan lahan.
Disisi
lain, buruknya kinerja penyerapan anggaran di kementerian juga
menyebabkan daya saing infrastruktur Indonesia masih menjadi salah satu
yang terendah di Asia. Hal ini sangat memprihatinkan. Apalagi, anggaran
untuk belanja infrastruktur cenderung mengalami peningkatan. Namun
disisi lain, penyerapan rendah.
“Bagaimana
memperbaiki daya saing infrastruktur jika anggaran telah disiapkan,
namun kinerja penyerapan anggaran pemerintah lamban. Tak heran bila
kondisi infrastruktur di Indonesia justru terendah di Asia berdasarkan
Global Competitiveness Report oleh World Economic Forum," jelas Yudi.
0 komentar:
Posting Komentar