Oleh : Ust Achmad Fatony
Pengasuh Pesantren Al Kahfi, Tarik, Sidoarjo
Pagi hari, atau sorenya, saya biasa mengenang teman-teman PKS. Mereka
yang saya kenang itu berbeda-beda latar belakang. Sebut saja namanya
Simon. PNS golongan rendahan. Untuk nafkah keluarga, gajinya minus. Tiap
hari harus berhutang, kecuali hari itu dagangan sembako istrinya laris.
Tapi, untuk datang di acara pengajian PKS, Simon tak pernah absen.
Lebih-lebih jika ada demo pro Palestina, ia ajak istri dan ke-3 anaknya
yang masih balita. Mereka hadir menumpang angkot, tanpa sepeser pesangon
dari panitia demo.
Pagi hari, atau sorenya, saya biasa mengenang teman-teman PKS. Di antara
mereka ada seorang marbot sebuah masjid. Sebut saja Parmin. Ia sebatang
kara. Usianya sudah kepala 5. Dengan gaji 300 ribu rupiah, ia merasa
berkecukupan. Pantang baginya meminta-minta, atau sekedar berkeluh kesah
mengungkap sisi kefakiran diri. Bahagianya hadir manakala datang waktu
sholat. Ia bergegas meraih mik dan melantangkan adzan. Bahagia itu
meluap saat bertemu kader PKS di masjid yang selalu hangat menyapa dan
meladeni pertanyaan-pertanyaannya tentang Islam. Kepada semua orang,
Parmin ngotot menyebut dirinya sebagai kader PKS.
Pagi hari, atau sorenya, saya biasa mengenang teman-teman PKS. Kader PKS
yang saya kenang bukan hanya mereka, atau semisal mereka. Ada juga
dokter spesialis. Panggil saja namanya Hamdan. Hidupnya serba cukup.
Mobilnya ada beberapa. Rumahnya bagus. Anak-anaknya belajar di
sekolah-sekolah mahal. Ia dan uang dan mobil-mobilnya, selalu hadir di
berbagai kegiatan PKS. Zakat maal ditunaikan tak pernah telat. Shodaqoh
dilepas tanpa pikir panjang. Sebelum menjadi jujugan mereka yang papa,
kader PKS ini pro aktif mendatangi dan mengulurkan dompetnya.
Mengapa mereka tak memilih pola hidup pragmatis ? Yang hidup pas-pasan,
wajar kok jika sibuk melulu dengan urusan berburu fulus. Buat apa
buang-buang potensi untuk PKS. Memangnya teman-teman PKS-nya akan
mengangkat taraf hidupnya jika mereka menjadi pejabat ? Sudah 3 kali
Pemilu dan terus-terusan mencoblos PKS, hidup tetap kere saja. Sedangkan
kader PKS yang kaya, mengapa rela buang-buang kemewahan untuk PKS?
Bukankah kekayaan didapatkan bukan hasil gotong-royong kader PKS
lainnya? Nikmat merasakan kemewahan, wajar kok ingin lebih nikmat lagi
dengan hidup lebih mewah lagi.
Pagi hari, atau sorenya, saya biasa mengenang teman-teman PKS. Mereka
yang papa, atau yang kaya, semua bahagia menjadi kader PKS. Saya kenang
mereka di sela-sela lantunan do’a saya, yang terkandung di sana rahasia
bahagia mereka. Yaitu, saat saya baca do’a akhir rangkaian dzikir Al
Ma’tsurat (yang juga seharusnya dibaca oleh semua kader PKS). Yaitu,
saat saya melafalkan do’a itu, bahwa kami kader PKS sungguh sudah lebur
dalam cinta pada Sang Maha Pencipta. Bahwa eksistensi kami sebagai PKS,
hanya sarana berbakti pada-Nya, menjadi identitas salah satu rombongan
penolong agama-Nya. Yang kami mohonkan kepada Dia sembari mengemis pilu
sepanjang tarikan nafas kami, hanyalah ridho dan surga-Nya.
Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya hati-hati kami ini,
telah berkumpul karena cinta-Mu,
dan berjumpa dalam ketaatan pada-Mu,
dan bersatu dalam dakwah-Mu,
dan berpadu dalam membela syariat-Mu.
Maka ya Allah, kuatkanlah ikatannya,
dan kekalkanlah cintanya,
dan tunjukkanlah jalannya,
dan penuhilah ia dengan cahaya yang tiada redup,
dan lapangkanlah dada-dada kami dengan iman yang berlimpah kepada-Mu,
dan indahnya takwa kepada-Mu,
dan hidupkan ia dengan ma'rifat-Mu,
dan matikan ia dalam syahid di jalan-Mu.
Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
*http://pksnews.com/rahasia-kebahagiaan-kader-pks/
0 komentar:
Posting Komentar